Dia arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di negeri ini. Bung
Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya
mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Friedrich Silaban, seorang penganut
Kristen Protestan yang taat kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember
1912, wafat dalam usia 72 tahun pada hari Senin, 14 Mei 1984 RSPAD Gatot
Subroto Jakarta, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.
Friedrich Silaban, Arsitek Mesjid
Istiqlal
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.
Disebutkan demikian, karena sang
arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat.
Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi demikian, namun begitulah memang
gambaran toleransi beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran
jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima
pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim.
Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan
kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan
mesjid yang sangat monumental tersebut.
Pekerjaan karya besar demikian,
memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan jiwa besarnya tadi. Sebab dengan
perbedaan latar belakang kepercayaan tersebut, maka ia harus terlebih dahulu
mampu menjawab pertanyaan yang timbul dalam hati nuraninya sendiri. Pertanyaan
dimaksud adalah pantaskah ia sebagai seorang pemeluk Agama Kristen Protestan
membuat desain sebuah mesjid?
Sedangkan mesjid dalam hal ini
bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap genting, dengan dinding batu
bata semata. Melainkan merupakan bangunan yang disucikan sebagai tempat umat
Islam beribadah dan melakukan kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi
mesjid disini adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).
Mesjid yang diniatkan untuk
melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan
suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan
tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara dijamannya. Karenanya,
bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan
tahun kelak.
Pencetus ide pembangunan mesjid ini
sendiri adalah KH Wahid Hasyim yang kala itu menjabat sebagai Menteri Agama RI
pertama. Selanjutnya, pada 1950 ayah KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat)
ini bersama-sama dengan H Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan
sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman melembagakannya
dengan membentuk Yayasan Mesjid Istiqlal.
Lembaga ini kemudian dikukuhkan di
hadapan notaris Elisa Pondang pada tanggal 7 Desember 1954. Yayasan Mesjid
Istiqlal mengharapkan adanya mesjid yang kelak dapat menjadi identitas bagi
mayoritas umat Islam di Indonesia. Gagasan dimaksud, juga mendapat dukungan
dari Ir. Soekarno, Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden bersedia membantu
pembangunan mesjid.
Demi mendapatkan hasil terbaik,
desain mesjid sengaja diperlombakan. Untuk itu dibentuklah tim juri yang
beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi. Hamka, H.
AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Setelah melalui beberapa kali
pertemuan di Istana Negara dan Istana Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri
memutuskan desain kreasi Silaban yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya.
Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam,
tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya.
Sedangkan lokasinya diputuskan di
Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di
depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan
tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak
di mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai ABRI turun bahu-membahu
bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun
kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu pertamapun
dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.
Pembangunan mesjid ini memakan waktu
kurang lebih sepuluh tahun. Panjangnya waktu ini karena pembangunannya memang
sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Disamping
itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan
monumen lainnya, seperti Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.
Bahkan meletusnya peristiwa
pemberontakan G 30 S PKI pada 1965, mengakibatkan pembangunannya sempat
berhenti total. Dan baru dimulai kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan
mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusanpun diganti dan ditangani langsung
oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.
Mesjid dengan arsitektur bergaya
modern yang memiliki luas bangunan sekitar empat hektar dengan luas tanah
mencapai sembilan setengah hektar dan terbagi atas beberapa bagian, yakni
gedung induk dan qubah, gedung pendahuluan dan emper penghubung, teras raksasa
dan emper keliling, menara, halaman, taman, air mancur, serta ruang wudhu itu
akhirnya terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian diresmikan oleh Presiden
Soeharto pada 22 Februari 1978.
Di Mesjid ini, beragam kegiatan
diselenggarakan, diantaranya kuliah zuhur, taklim magrib, pengajian kaum ibu,
pengajian bulanan, bimbingan qiro atul Qur’an, pengajian tinggi Istiqlal, pusat
perpustakaan Islam Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.
Dia arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di negeri ini. Bung
Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya
mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Friedrich Silaban, seorang penganut
Kristen Protestan yang taat kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember
1912, wafat dalam usia 72 tahun pada hari Senin, 14 Mei 1984 RSPAD Gatot
Subroto Jakarta, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.
Friedrich Silaban, Arsitek Mesjid
Istiqlal
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.
Disebutkan demikian, karena sang
arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat.
Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi demikian, namun begitulah memang
gambaran toleransi beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran
jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima
pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim.
Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan
kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan
mesjid yang sangat monumental tersebut.
Pekerjaan karya besar demikian,
memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan jiwa besarnya tadi. Sebab dengan
perbedaan latar belakang kepercayaan tersebut, maka ia harus terlebih dahulu
mampu menjawab pertanyaan yang timbul dalam hati nuraninya sendiri. Pertanyaan
dimaksud adalah pantaskah ia sebagai seorang pemeluk Agama Kristen Protestan
membuat desain sebuah mesjid?
Sedangkan mesjid dalam hal ini
bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap genting, dengan dinding batu
bata semata. Melainkan merupakan bangunan yang disucikan sebagai tempat umat
Islam beribadah dan melakukan kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi
mesjid disini adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).
Mesjid yang diniatkan untuk
melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan
suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan
tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara dijamannya. Karenanya,
bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan
tahun kelak.
Pencetus ide pembangunan mesjid ini
sendiri adalah KH Wahid Hasyim yang kala itu menjabat sebagai Menteri Agama RI
pertama. Selanjutnya, pada 1950 ayah KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat)
ini bersama-sama dengan H Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan
sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman melembagakannya
dengan membentuk Yayasan Mesjid Istiqlal.
Lembaga ini kemudian dikukuhkan di
hadapan notaris Elisa Pondang pada tanggal 7 Desember 1954. Yayasan Mesjid
Istiqlal mengharapkan adanya mesjid yang kelak dapat menjadi identitas bagi
mayoritas umat Islam di Indonesia. Gagasan dimaksud, juga mendapat dukungan
dari Ir. Soekarno, Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden bersedia membantu
pembangunan mesjid.
Demi mendapatkan hasil terbaik,
desain mesjid sengaja diperlombakan. Untuk itu dibentuklah tim juri yang
beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi. Hamka, H.
AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Setelah melalui beberapa kali
pertemuan di Istana Negara dan Istana Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri
memutuskan desain kreasi Silaban yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya.
Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam,
tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya.
Sedangkan lokasinya diputuskan di
Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di
depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan
tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak
di mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai ABRI turun bahu-membahu
bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun
kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu pertamapun
dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.
Pembangunan mesjid ini memakan waktu
kurang lebih sepuluh tahun. Panjangnya waktu ini karena pembangunannya memang
sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Disamping
itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan
monumen lainnya, seperti Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.
Bahkan meletusnya peristiwa
pemberontakan G 30 S PKI pada 1965, mengakibatkan pembangunannya sempat
berhenti total. Dan baru dimulai kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan
mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusanpun diganti dan ditangani langsung
oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.
Mesjid dengan arsitektur bergaya
modern yang memiliki luas bangunan sekitar empat hektar dengan luas tanah
mencapai sembilan setengah hektar dan terbagi atas beberapa bagian, yakni
gedung induk dan qubah, gedung pendahuluan dan emper penghubung, teras raksasa
dan emper keliling, menara, halaman, taman, air mancur, serta ruang wudhu itu
akhirnya terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian diresmikan oleh Presiden
Soeharto pada 22 Februari 1978.
Di Mesjid ini, beragam kegiatan
diselenggarakan, diantaranya kuliah zuhur, taklim magrib, pengajian kaum ibu,
pengajian bulanan, bimbingan qiro atul Qur’an, pengajian tinggi Istiqlal, pusat
perpustakaan Islam Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik adalah komentar yang sopan. Jadilah komentator yang beretika ;)